Duhai saudariku, kupersembahkan senandung gerakan ujung penaku ini untukmu yang ingin merasakan indah dan paripurnanya risalah langit dari Allah ‘azza wajalla agar bertambah dan semakin kokoh hasratmu dalam menikmati posisimu sebagai kaum hawa..
Segala puji bagi Allah ‘azza wajalla yang telah menyempurnakan langit tanpa tiang dan menjadikan taburan bintang sebagai pelengkap indah dan pesonanya.
Semoga shalawat dan salam tetap tercurah teruntuk sosok yang begitu mulia dan dicinta penduduk bumi dan langit, dialah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam..
Makhluk Mulia nan Penuh Misteri
Hal pertama yang kukabarkan padamu bahwa engkau adalah sosok yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun kukatakan pula bahwa engkau adalah makhluk nan penuh misteri. Lihatlah disana literatur-literatur bertumpuk membahas tentangmu sebagai makhluk yang berbeda dengan kaum kami. Engkaulah topik yang menjadi inspirasi sekaligus menjadi kuncup-kuncup nan mempesona dalam menggerakkan pena dan tinta para penulis. Sekiranya seluruh pendapat dan pandangan yang tertuju padamu dihimpun menjadi satu maka tidak akan pernah tertampung dalam buku tebal nan berjilid-jilid. Dan tentu saja wahai belahan jiwa kaum kami, pembicaraan tentangmu tidak akan pernah gersang atau pun usang seiring musim silih berganti..
Pecahan-pecahan Emosional yang Menenteramkan
Duhai saudariku yang mulia..
Ketika aku berbicara tentang kaummu maka aku sedang menyelami sisi emosional yang umumnya dijadikan pijakan dalam berpikir oleh kaummu sendiri, bukan dengan nalar. Kukatakan demikian karena Allah telah menganugerahkanmu sisi emosional yang lebih dominan daripada nalar. Sisi emosional ini pun bereaksi lebih cepat dari nalar. Porsi emosional yang ada pada kaummu pula lebih besar dibanding yang ada pada kaum kami laki-laki. Adakah Allah ‘azza wajalla menzalimi kita dengan perbedaan porsi tersebut??
Aku harap engkau mampu menemukan jawabannya dengan menyusuri untaian kalimatku sehingga bertambah kecintaanmu pada Allah. Bertambah kekuatanmu dalam manghadapi ganasnya badai di samudera kehidupan dan bertambah pula kekokohan pribadimu bak karang yang tak goyah dihempas ombak..
Curahan Kasih Sayang yang Mengharukan
Penaku selanjutnya akan mengajakmu berkunjung ke negeri Mesir di zaman Fir’aun. Dialah seorang raja yang memerintahkan pengawalnya untuk membunuh seluruh bayi laki-laki yang lahir saat itu. Maka ibunda Musa khawatir akan putranya yaitu nabi Musa kecil nan mungil. Lalu, Najiyah, ibunda musa menuliskan kalimat-kalimat pada setiap pojok peti berbentuk kubus yang didalamnya berisi musa kecil. Peti itu akan dihanyutkan di sungai guna menyelamatkan anaknya.
Di sisi pertama ia menulis: “duhai Rabb, kuletakkan sambungan jiwaku dalam peti ini, seperti yang Kau perintahkan.”
Di sisi kedua ia menulis: ”ya Rabb, kuhanyutkan buah hatiku ke sungai, seperti yang Kau perintahkan.”
Di sisi ketiga ia menulis: ”ya Rabb, arus sungai akan membawa jantung hatiku ke tepian, seperti yang Kau perintahkan.”
Pada sisi keempat ia menulis: ”ya Rabb, kembalikanlah dia kepadaku, seperti yang Kau perintahkan.”
Selanjutnya pada sisi penutup peti, ia menulis: ”ya Rabb, jadikanlah ia rasul-Mu, seperi yang Engkau janjikan.” Lalu berlinaglah air mata cinta. Berdukalah hati yang tengah tersayat. Duh penaku tak sanggup lagi berkisah.
Saudariku,
Lihatlah Najiyah, ibunda Musa, dengan perasaan keibuannya yang begitu tinggi, ia rela menghanyutkan sang putra di sungai agar selamat dari kekejaman Fir’aun. Tentulah gesekan-gesekan gelombang cinta dalam jiwanya sedang berkecamuk untuk menolak tindakannya itu. Namun apalah daya. Akankah naluri keibuannya tega melihat leher putranya mengalirkan darah??? Tidak, tidak, tidak.. Musa kecil harus seger diselamatkan.
Itulah salah satu luapan sisi emosional kaummu yang Allah anugerahkan dengan porsi yang dominan daripada kaum kami.
Percikan Bahagia Penuh Cinta
Dengan anugerah sisi emosional yang dominan, engkau akan mampu bersikap penuh perasaan dan kasih sayang terhadap suamimu. Engkau mampu mengusap air mata kami yang berlinang karena sedih lalu menggantikannya dengan senyum dan tawa bahagia, menghilangkan duka dan lara,. Engkau mampu memberikan sentuhan lembut kala raga begitu lelah berterik mentari di arena kehidupan, lalu menggantikan dengan sejuk jiwamu. Engkau akan cantik dan bak permata akan menyenangkan mata suamimu terkasih dan tentu saja menjadi perhiasan terindah yang menjadi dambaan lelaki, lalu surgapun engkau dapatkan.
Engkau pula (dengan sisi emosionalmu) akan mendidik makhluk Allah yang mungil baik dari kaummu sendiri maupun dari kaum kami. Engkau akan mendidik mereka menjadi kesatria-kesatria tangguh dan berilmu syar’i. Mereka akan berteriak dari masa depan yang cerah dengan berkata :
“ibuuuuuu, aku telah menghafal al-qur’an,
Buuuundaaaa, anakmu ini udah menghafal hadist-hadist nabi-Nya,
aku sudah fasih berbicara bahasa arab, mamaaaa.
Umiiiii, aku ingin tinggal di surga..”
Subhanallah kawan, engkau begitu agung. Namun ma’afkan aku, tarian penaku harus terhenti disini karena hitam bola mataku mulai berkaca.
Sekian kawan,
Dari hamba Allah yang fakir,
Mataram_. 29 Rabiul Tsani 1431 H (14 April 2010 M) sekitar 45 menit sebelum ashar…
**********
Sumber tulisan (edisi terjemahan) :
1. Nisa’ fi Hayati al-Anbiya oleh Ibrahim Mahmud Abdul Hadi
2. Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah oleh syaikh Mutawwali as-Sya’rawi
3. Alwan min an-Nisa’ oleh Dr. Ramadhan Hafizh
Minggu, 18 April 2010
Pesona Kemilau ‘Mutiara’ Zaman (Menapaki Jalan Cinta Pewaris Para Nabi)
Jujur kuakui bahwa penaku selalu merindukan percikan-percikan tintanya hingga tak jemu-jemu tuk merangkai kata. Baiklah kita biarkan saja ia bersenandung sambil mengajak kita larut hingga terbius dalam tariannya.
Segala puji bagi Allah ‘azza wajalla yang menurunkan risalah yang sempurna dan paripurna. Dialah yang menjadikan surga penuh dengan kenikmatan tiada tara dan menjadikan mata air Tasnim sebagai minuman teristimewa bagi penduduknya. Dialah pula yang menjadikan neraka yang kobarannya menyembur hingga hitam pekat berwarna. Kelak akan ada seorang penduduk neraka dengan sandal bertali api dan ubun-ubun kepalanya mendidih. Ia merasa bahwa dialah paling dahsyat siksanya padahal itu adalah siksaan paling ringan bagi penduduk neraka.
Tiada henti-hentinya shalawat dan salam kita kumandangkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah menjelaskan segala hal yang menghantarkan kita menuju surga. Begitu pula hal-hal yang menyebabkan kita berkubang dalam neraka melainkan telah beliau peringatkan.
Ada Cinta Bersua di Balik Kata
Kembali kuracik komposisi kata-kataku ini atas nama cinta dan rindu yang begitu menggebu teruntuk engkau siapapun yang merindukan kejayaan agama kita yang mulia. Ketahuilah bahwa agama kita ini tumbuh dan mekar dalam kelopak-kelopak ilmu dan kuncup-kuncupnya pun akan membuahkan amal setelah dicumbu kupu-kupu pembawa risalah langit. Karenanya ketika engkau telah memproklamirkan cintamu (kepada Allah dan Rasul-Nya) yang tengah berkecamuk dalam jiwa, maka saatnya untuk memburu benih-benih ilmu syar’i lalu menaburnya dalam subur jiwamu.
Bersama penaku ini, akan kuajak engkau mengintip jalan cinta pewaris para nabi. Mereka telah merelakan diri larut dan tenggelam dalam lautan ilmu tak bertepi. Telah mereka torehkan cinta dan rindu yang menggebu melalui pena lalu dituangkan dalam kanvas kitab-kitabnya. Mereka begitu menikmati manisnya madu ilmu yang segarnya begitu membahana jiwa sehingga jadilah mereka mutiara penyinar bumi hingga akhir zaman.
Tintaku Bagai Buah Kenari
“…jika engkau melihatku ketika umur sepuluh tahun dan tinggiku lima hasta, (maka engkau akan mengetahui) wajahku bagaikan dinar, dan aku seperti nyala api, pakaianku kecil, lenganku pendek dan sandalku seperti telinga tikus. Aku telah berani berbeda pendapat dengan para ulama di masaku seperti az-Zuhri dan Amr ibnu Dinar. Aku duduk diantara mereka seperti paku. Tintaku bagai buah kenari. Tempat penaku seperti pisang dan penaku seperti buah badam. Ketika aku memasuki majelis (ilmu), mereka mengatakan “lapangkanlah (tempat) untuk guru kecil.”…” (Sofyan Ibnu Uyainah)(1*)
Subhanallah kawan.. begitu dahsyat gemuruh jiwa yang haus akan ilmu. Lihatlah si kecil Sofyan Ibnu Uyainah, dengan pena dan tintanya telah menyerap sari-sari ilmu semenjak belia. Dia telah menghibahkan dirinya diatas jalan ilmu. Adakah engkau tak dilanda cemburu??? Mari kawan kita bergandeng tangan menyusuri jalan ini, jalan cinta pewaris para nabi.
Kutitip Engkau kepada Allah Wahai Anakku
Selanjutnya akan kuperkenalkan engkau dengan seorang ulama yang telah menulis 90 jilid kitab dengan 700 juz. Dialah al-Hafizh Abdul Azhim al-Mundziri (581-656 H)(2*) yang lahir dan wafat di Kairo. Beliau begitu bersungguh-sungguh menyibukkan diri dengan ilmu baik siang maupun malam. Ketika tetangganya bangun malam, maka selalu terlihat lampu rumahnya menyala karena beliau larut dalam syahdunya ilmu. Bahkan ketika makan maupun minum pun beliau selalu membahas ilmu. Beliau telah menebarkan wewangian ilmunya di Darul Hadist Al-kamiliyah. Beliau tidak pernah keluar dari madrasah tersebut kecuali ketika sholat jum’at. Pernah suatu ketika, putranya yang cerdas dan termasuk salah satu hadist terkemuka meninggal dunia. Setelah itu beliau menshalatkan jenazah putranya tersayang di dalam madrasah lalu mengiringinya hanya sampai pintu madrasah saja dan tidak menuju ke pemakaman. Kemudian meneteslah air mata cinta dan berdukalah jiwa seraya berujar “kutitipkan engkau kepada Allah ta’ala wahai anakku.” beliau pun berpisah dengannya dan sejak saat itu beliau tak pernah lagi keluar dari madrasah. Semoga Allah merahmatinya dan seluruh kaum muslimin.
Subhanallah.. sungguh mereka merasakan kenikmatan yang tiada tergantikan dalam menyusuri jalan ini. Ada bahagia mengusik jiwa. Ada rindu berjumpa dengan wajah Allah kelak di surga. Bersemi pula cinta teruntuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tidak, kawan??? Di jalan ini mereka mempelajari Alqur’an dan hadist-hadist nabi-Nya beserta penjelasan para ulama yang mu’tabar. Begitu menenteramkan hati yang mendengar. Ada hitam karat-karat hati selalu terkikis. Tercabik pula karang-karang kebodohan yang menjadi musuh setiap anak adam. Mari kawan kita bergegas.
Bunda Ijinkan Aku Memburu Ilmu
Seorang anak kecil berumur 10 tahun dengan penuh harapan dan semangat yang membara berucap kepada ibunya, ”apakah aku boleh pergi guna memburu ilmu?? Insya Allah setelah sholat subuh nanti aku mau pergi untuk keluar menuntut ilmu (syar’i).”alangkah bahagianya sang ibu mendengar permintaan sang buah hati. Sang ibu pun berkata,kemarilah anakku, pakailah pakaian ilmu.” lalu sang ibu menggantikan pakaian putranya dengan pakaian indah berwarna kecoklat-coklatan, memasang dan mengikatkan surban di kepalanya dengan penuh sentuhan keimanan, menaburkan parfum yang harum semerbak dengan harapan kelak sang anak akan menebarkan wewangian ilmu yang diperolehnya. Lalu dengan penuh sedih sang ibu berkata, ”pergilah anakku dan burulah ilmu.”
Lalu sang anak belia itupun keluar demi mencari kebenaran dengan semangat yang tak pernah padam dan menemui 900 ulama di masanya. Subhanallah. Itulah jiwa yang selalu haus ilmu. Tahukah engkau siapakah si kecil belia?? Dialah imam Malik bin Anas bin Malik bin Amir(3*), salah seorang imam madzhab penyusun kitab hadist al-Muwaththa’ yang beredar luas di kalangan penuntut ilmu dan disusun selama 40 tahun.
Sang imam menapaki ilmu di waktu kecil dengan menggantikan kemalasan dengan kesungguhan, mengisi waktu dengan bercanda bersama ilmu lalu meneguk saripatinya. Allahu akbar..
Tawaran Bahagia di Jalan Ini
Bagaimana dengan kita kawan..?? akankah kita berleha-leha menunggu kejayaan islam?? Atau kita keasyikan berorasi sambil berteriak di jalanan dengan beralasan Demonstrasi Islami??
Kawan yang kucinta,
Ketika gelombang-gelombang cintamu terhadap islam berkecamuk nan berkehendak islam agar berjaya,
Ketika engkau ingin Alloh mudahkan surga untukmu,
Ketika engkau ingin malaikat membuka sayapnya lalu mengepakkannya untukmu karena ridho denganmu,
Ketika engkau ingin seluruh makhluk yang ada di langit dan bumi hingga ikan di air mendo’akanmu ampunan,
Ketika engkau ingin berada di salah satu taman-taman surga,
Ketika engkau ingin Alloh menyanjungmu diantara para malaikat,
Ketika engkau ingin mendapat keutamaan bagai keutamaan bulan diantara seluruh bintang,
maka saatnya menapaki jalan cinta pewaris para nabi.
Sekian, salam ukhuwah untukmu di jalan ini,
Yani Fachriansyah Muhammad As-samawiy
(Fachrian Almer Akira)
*******
Catatan penulis:
Tentu ada banyak kisah-kisah spektakuler para ulama dalam menuntut ilmu. Bacalah tentang mereka agar mampu men-charger kembali semangat kita yang mungkin sempat luntur dikikis fitnah-fitnah zaman. Semoga Allah merahmati mereka semua yang telah memercikkan ilmu-ilmu ke dalam jiwa para penuntut ilmu. Aku harap tulisan singkatku bermanfaat untuk kita semua. Barakumullahu fiikum. Subhanakallahumma wabihamdika astaghfiruka wa’atubu ilaika.
Mataram._ . Ahad sore kala getar-getar jiwa mulai mengusik pikiran, 3 Jumadil Awal 1431 H (18 April 2010 M)
Catatan kaki:
1*. Lihat Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli (edisi terjemahan) oleh Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, penerbit Al-I’tishom, hal. 368
2*. Lihat Qimatuz Zaman ‘Indal ‘Ulama’ (edisi terjemahan) oleh Syaikh Abdul Fattah, penerbit Zam Zam, hal. 127-129
3*. Lihat Kaifa Tashna’ Thiflan Mubdi’an (edisi terjemahan) oleh Syaikh Abdullah Muhammad Abdul Mu’thi, penerbit eLBA, hal. 285-290
Segala puji bagi Allah ‘azza wajalla yang menurunkan risalah yang sempurna dan paripurna. Dialah yang menjadikan surga penuh dengan kenikmatan tiada tara dan menjadikan mata air Tasnim sebagai minuman teristimewa bagi penduduknya. Dialah pula yang menjadikan neraka yang kobarannya menyembur hingga hitam pekat berwarna. Kelak akan ada seorang penduduk neraka dengan sandal bertali api dan ubun-ubun kepalanya mendidih. Ia merasa bahwa dialah paling dahsyat siksanya padahal itu adalah siksaan paling ringan bagi penduduk neraka.
Tiada henti-hentinya shalawat dan salam kita kumandangkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah menjelaskan segala hal yang menghantarkan kita menuju surga. Begitu pula hal-hal yang menyebabkan kita berkubang dalam neraka melainkan telah beliau peringatkan.
Ada Cinta Bersua di Balik Kata
Kembali kuracik komposisi kata-kataku ini atas nama cinta dan rindu yang begitu menggebu teruntuk engkau siapapun yang merindukan kejayaan agama kita yang mulia. Ketahuilah bahwa agama kita ini tumbuh dan mekar dalam kelopak-kelopak ilmu dan kuncup-kuncupnya pun akan membuahkan amal setelah dicumbu kupu-kupu pembawa risalah langit. Karenanya ketika engkau telah memproklamirkan cintamu (kepada Allah dan Rasul-Nya) yang tengah berkecamuk dalam jiwa, maka saatnya untuk memburu benih-benih ilmu syar’i lalu menaburnya dalam subur jiwamu.
Bersama penaku ini, akan kuajak engkau mengintip jalan cinta pewaris para nabi. Mereka telah merelakan diri larut dan tenggelam dalam lautan ilmu tak bertepi. Telah mereka torehkan cinta dan rindu yang menggebu melalui pena lalu dituangkan dalam kanvas kitab-kitabnya. Mereka begitu menikmati manisnya madu ilmu yang segarnya begitu membahana jiwa sehingga jadilah mereka mutiara penyinar bumi hingga akhir zaman.
Tintaku Bagai Buah Kenari
“…jika engkau melihatku ketika umur sepuluh tahun dan tinggiku lima hasta, (maka engkau akan mengetahui) wajahku bagaikan dinar, dan aku seperti nyala api, pakaianku kecil, lenganku pendek dan sandalku seperti telinga tikus. Aku telah berani berbeda pendapat dengan para ulama di masaku seperti az-Zuhri dan Amr ibnu Dinar. Aku duduk diantara mereka seperti paku. Tintaku bagai buah kenari. Tempat penaku seperti pisang dan penaku seperti buah badam. Ketika aku memasuki majelis (ilmu), mereka mengatakan “lapangkanlah (tempat) untuk guru kecil.”…” (Sofyan Ibnu Uyainah)(1*)
Subhanallah kawan.. begitu dahsyat gemuruh jiwa yang haus akan ilmu. Lihatlah si kecil Sofyan Ibnu Uyainah, dengan pena dan tintanya telah menyerap sari-sari ilmu semenjak belia. Dia telah menghibahkan dirinya diatas jalan ilmu. Adakah engkau tak dilanda cemburu??? Mari kawan kita bergandeng tangan menyusuri jalan ini, jalan cinta pewaris para nabi.
Kutitip Engkau kepada Allah Wahai Anakku
Selanjutnya akan kuperkenalkan engkau dengan seorang ulama yang telah menulis 90 jilid kitab dengan 700 juz. Dialah al-Hafizh Abdul Azhim al-Mundziri (581-656 H)(2*) yang lahir dan wafat di Kairo. Beliau begitu bersungguh-sungguh menyibukkan diri dengan ilmu baik siang maupun malam. Ketika tetangganya bangun malam, maka selalu terlihat lampu rumahnya menyala karena beliau larut dalam syahdunya ilmu. Bahkan ketika makan maupun minum pun beliau selalu membahas ilmu. Beliau telah menebarkan wewangian ilmunya di Darul Hadist Al-kamiliyah. Beliau tidak pernah keluar dari madrasah tersebut kecuali ketika sholat jum’at. Pernah suatu ketika, putranya yang cerdas dan termasuk salah satu hadist terkemuka meninggal dunia. Setelah itu beliau menshalatkan jenazah putranya tersayang di dalam madrasah lalu mengiringinya hanya sampai pintu madrasah saja dan tidak menuju ke pemakaman. Kemudian meneteslah air mata cinta dan berdukalah jiwa seraya berujar “kutitipkan engkau kepada Allah ta’ala wahai anakku.” beliau pun berpisah dengannya dan sejak saat itu beliau tak pernah lagi keluar dari madrasah. Semoga Allah merahmatinya dan seluruh kaum muslimin.
Subhanallah.. sungguh mereka merasakan kenikmatan yang tiada tergantikan dalam menyusuri jalan ini. Ada bahagia mengusik jiwa. Ada rindu berjumpa dengan wajah Allah kelak di surga. Bersemi pula cinta teruntuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tidak, kawan??? Di jalan ini mereka mempelajari Alqur’an dan hadist-hadist nabi-Nya beserta penjelasan para ulama yang mu’tabar. Begitu menenteramkan hati yang mendengar. Ada hitam karat-karat hati selalu terkikis. Tercabik pula karang-karang kebodohan yang menjadi musuh setiap anak adam. Mari kawan kita bergegas.
Bunda Ijinkan Aku Memburu Ilmu
Seorang anak kecil berumur 10 tahun dengan penuh harapan dan semangat yang membara berucap kepada ibunya, ”apakah aku boleh pergi guna memburu ilmu?? Insya Allah setelah sholat subuh nanti aku mau pergi untuk keluar menuntut ilmu (syar’i).”alangkah bahagianya sang ibu mendengar permintaan sang buah hati. Sang ibu pun berkata,kemarilah anakku, pakailah pakaian ilmu.” lalu sang ibu menggantikan pakaian putranya dengan pakaian indah berwarna kecoklat-coklatan, memasang dan mengikatkan surban di kepalanya dengan penuh sentuhan keimanan, menaburkan parfum yang harum semerbak dengan harapan kelak sang anak akan menebarkan wewangian ilmu yang diperolehnya. Lalu dengan penuh sedih sang ibu berkata, ”pergilah anakku dan burulah ilmu.”
Lalu sang anak belia itupun keluar demi mencari kebenaran dengan semangat yang tak pernah padam dan menemui 900 ulama di masanya. Subhanallah. Itulah jiwa yang selalu haus ilmu. Tahukah engkau siapakah si kecil belia?? Dialah imam Malik bin Anas bin Malik bin Amir(3*), salah seorang imam madzhab penyusun kitab hadist al-Muwaththa’ yang beredar luas di kalangan penuntut ilmu dan disusun selama 40 tahun.
Sang imam menapaki ilmu di waktu kecil dengan menggantikan kemalasan dengan kesungguhan, mengisi waktu dengan bercanda bersama ilmu lalu meneguk saripatinya. Allahu akbar..
Tawaran Bahagia di Jalan Ini
Bagaimana dengan kita kawan..?? akankah kita berleha-leha menunggu kejayaan islam?? Atau kita keasyikan berorasi sambil berteriak di jalanan dengan beralasan Demonstrasi Islami??
Kawan yang kucinta,
Ketika gelombang-gelombang cintamu terhadap islam berkecamuk nan berkehendak islam agar berjaya,
Ketika engkau ingin Alloh mudahkan surga untukmu,
Ketika engkau ingin malaikat membuka sayapnya lalu mengepakkannya untukmu karena ridho denganmu,
Ketika engkau ingin seluruh makhluk yang ada di langit dan bumi hingga ikan di air mendo’akanmu ampunan,
Ketika engkau ingin berada di salah satu taman-taman surga,
Ketika engkau ingin Alloh menyanjungmu diantara para malaikat,
Ketika engkau ingin mendapat keutamaan bagai keutamaan bulan diantara seluruh bintang,
maka saatnya menapaki jalan cinta pewaris para nabi.
Sekian, salam ukhuwah untukmu di jalan ini,
Yani Fachriansyah Muhammad As-samawiy
(Fachrian Almer Akira)
*******
Catatan penulis:
Tentu ada banyak kisah-kisah spektakuler para ulama dalam menuntut ilmu. Bacalah tentang mereka agar mampu men-charger kembali semangat kita yang mungkin sempat luntur dikikis fitnah-fitnah zaman. Semoga Allah merahmati mereka semua yang telah memercikkan ilmu-ilmu ke dalam jiwa para penuntut ilmu. Aku harap tulisan singkatku bermanfaat untuk kita semua. Barakumullahu fiikum. Subhanakallahumma wabihamdika astaghfiruka wa’atubu ilaika.
Mataram._ . Ahad sore kala getar-getar jiwa mulai mengusik pikiran, 3 Jumadil Awal 1431 H (18 April 2010 M)
Catatan kaki:
1*. Lihat Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli (edisi terjemahan) oleh Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, penerbit Al-I’tishom, hal. 368
2*. Lihat Qimatuz Zaman ‘Indal ‘Ulama’ (edisi terjemahan) oleh Syaikh Abdul Fattah, penerbit Zam Zam, hal. 127-129
3*. Lihat Kaifa Tashna’ Thiflan Mubdi’an (edisi terjemahan) oleh Syaikh Abdullah Muhammad Abdul Mu’thi, penerbit eLBA, hal. 285-290
Kamis, 15 April 2010
Mengais Keajaiban Cinta
jika Anda memiliki anak pertama yang berumur 2.5 tahun, lahir setelah 17 tahun menikah, setelah Anda sembuh dari kemandulan. Anak Anda tersebut mengalami:
* bermasalah dalam pembuluh darah di liver,
* jantung berhenti berdetak selama 45 menit,
* pendarahan hebat yang membuat jantungnya berhenti berdetak untuk yang kedua kali
* pendarahan di liver, sembuh, pendarahan lagi berulang-ulang sampai 6 kali,
* tumor dan radang otak,
* radang ginjal,
* radang pada selaput kristal yang mengitari jantung,
penyakit tersebut hadir silih berganti, terus menerus dalam waktu 6-8 bulan…, Apa yang Anda lakukan?
Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi dalam bukunya ‘Jangan Takut Sakit’ (hal 111-117, penerbit Fawaid, -dengan sedikit penyesuaian) menuturkan sebuah kisah:
Dr. Abdullah bercerita,
“Ada seorang perempuan yang datang kepada saya dengan menyeret langkah-langkah kakinya, ia menggendong anaknya yang tersiksa oleh penyakit.
Ia adalah seorang ibu yang berusia mendekati empat puluh tahun. Ia memeluk anaknya yang masih kecil ke dadanya, seakan-akan anak tersebut adalah potongan tubuhnya. Kondisi anak itu memprihatinkan, terdengar satu dua tarikan nafas dari dadanya.
Saya bertanya kepada si ibu, ‘Berapa umurnya?’
Ia menjawab, ‘Dua setengah tahun.’
Kami melakukan pemeriksaan kepada anak itu, ternyata anak itu bermasalah dalam pembuluh-pembuluh darah di livernya.
Kami segera melakukan tindakan operasi kepadanya, dan dua hari setelah operasi, anak itu sudah sehat. Sang ibu pun tampak gembira dan riang.
Ketika melihat saya, ia bertanya, ‘Kapan anak saya boleh pulang dok?’
Tatkala saya hampir menulis surat keterangan pulang, tiba-tiba anak kecil itu mengalami pendarahan hebat di tenggorokannya, sehingga menyebabnya jantungnya berhenti berdetak selama 45 menit.
Kesadaran anak tersebut sudah hilang. Lalu para dokter berkumpul di dalam ruangannya. Beberapa jam telah berlalu, namun mereka tidak sanggup membuatnya tersadar.
Salah seorang teman saya segera mendatangi ibunya dan berkata kepadanya, ‘Kemungkinan anak Anda mengalami kematian otak (koma) dan saya mengira bahwa ia tidak memiliki harapan untuk hidup.’ Saya menoleh kepada teman saya tersebut sambil mencelanya karena ucapannya tersebut.
Lalu saya melihat kepada si ibu, demi Allah, perkataan teman saya itu tidak menambah selain ia mengucapkan, ‘Penyembuh adalah Allah, Pemberi kesehatan adalah Allah.’
Kemudian ia terus menerus membaca, ‘Saya memohon kepada Allah jika ada kebaikan pada kesembuhannya, maka sembuhkanlah ia.’
Setelah itu ia diam dan berjalan menuju sebuah kursi kecil, lalu duduk. Kemudian ia mengambil mushaf kecilnya yang berwarna hijau dan membacanya.
Para dokter pun keluar, saya juga keluar bersama mereka. Saya berjalan melewati anak itu, kondisinya belum berubah, sesosok tubuh yang terbujur kaku laksana mayat di atas tempat tidur putih. Lalu saya menoleh kepada ibunya, keadaannya juga masih tetap seperti sebelumnya.
Satu hari ia membacakan Al-Qur’an kepada anaknya; satu hari membacanya dan satu hari setelannya mendoakannya. Beberapa hari kemudian, salah seorang perawat perempuan memberitahu saya bahwa anak itu sudah mulai bergerak, saya langsung memuji Allah.
Saya berkata kepada si ibu, ‘Wahai Ummu Yasir, saya sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa keadaan Yasir mulai membaik.’
Ia hanya mengucapkan satu ucapan sambil menahan air matanya, ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah.’
Dua puluh empat jam kemudian kami dikejutkan dengan kondisi si anak, ia kembali mengalami pendarahan hebat seperti pendarahan sebelumnya, dan jantungnya berhenti berdetak untuk kedua kalinya.
Tubuhnya yang kecil kelihatan lelah, gerakannya telah hilang. Salah seorang dokter masuk untuk melihat kondisinya secara langsung, lalu saya mendengarnya berucap, ‘Mati otak.’
Sang ibu terus menerus mengulang-ulang, ‘Alhamdulillah, atas setiap keadaan, penyembuh adalah Allah.’ Beberapa hari kemudian, anak itu sembuh kembali. Namun, baru berlalu beberapa jam, ia kembali mengalami pendarahan di dalam livernya, lalu gerakannya berhenti.
Beberapa hari kemudian ia sadar lagi, lalu kembali mengalami pendarahan baru, kondisinya aneh, saya tidak pernah melihat kondisi seperti itu selama hidup saya, pendarahannya berulang-ulang hingga enam kali, sedangkan dari lisan ibunya hanya keluar ucapan, ‘Segala puji bagi Allah, Penyembuh adalah Rabb-ku, Dia-lah Penyembuh.’
Setelah beberapa kali pemeriksaan dan pengobatan, para dokter spesialis batang tenggorokan berhasil mengatasi pendarahan, Yasir mulai bergerak-gerak lagi. Tiba-tiba, Yasir kembali diuji dengan bisul besar (tumor) dan radang otak.
Saya sendiri yang memeriksa keadaannya. Saya berkata kepada ibunya, .’Keadaan anak Anda mengenaskan sekali dan kondisinya berbahaya.’ la tetap mengulang-ulang ucapannya, ‘Penyembuh adalah Allah’
la mulai membacakan Al-Qur’an kepada buah hatinya. Setelah dua minggu, tumor itu tetap ada. Dua hari kemudian, anak tersebut mulai sembuh, kami memuji Allah karenanya.
Sang ibu bersiap-siap untuk pulang, namun satu hari kemudian, tiba-tiba anak tersebut mengalami radang ginjal parah yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronis dan hampir menyebakan kematiannya.
Sementara si ibu tetap berpegang teguh, bertawakal dan berserah kepada Rabb-nya serta terus mengulang-ulang, ‘Penyembuh adalah Allah.’ Lalu, ia kembali ke tempatnya dan membacakan Al-Qur’an kepada anaknya.
Hari-hari berlalu, sedangkan kami terus berusaha memeriksa dan mengobati secara maraton hingga berlangsung sampai tiga bulan, kondisinya pun membaik, segala puji hanya bagi Allah.
Akan tetapi, kisah ini belum berhenti sampai di sini saja, si anak kembali diserang penyakit aneh yang belum pernah saya kenal selama hidup.
Setelah empat bulan, ia terserang radang pada selaput kristal yang mengitari jantung, sehingga memaksa kita untuk membuka sangkar dadanya dan membiarkannya terbuka untuk mengeluarkan nanah.
Ibunya hanya melihat kepadanya sambil berucap, ‘Saya memohon kepada Allah agar menyembuhkannya, Dia adalah penyembuh dan pemberi kesehatan.’ Lalu, ia kembali ke kursinya dan membuka mushafnya.
Terkadang saya melihat kepada ibu tersebut, sementara mushaf ada di depannya, ia tidak menoleh ke sekelilingnya. Kemudian saya masuk ke ruang refreshing, maka saya melihat banyak pasien dengan berbagai penyakit dan para penunggu mereka.
Saya melihat sebagian dari para pasien tersebut berteriak-teriak dan yang lainya mengaduh-aduh, sedangkan para penunggunya menangis, dan sebagian dari mereka berjalan di belakang para dokter.
Sementara ibu itu tetap berada di atas kursinya dan di depan mushafnya, tidak berpaling kepada orang yang berteriak dan tidak berdiri menghampiri dokter serta tidak berbicara dengan seorang pun.
Saya merasa bahwa ia adalah gunung, setelah berada selama enam bulan di ruang refreshing. Saya berjalan melewati anaknya, saya melihat matanya terpejam, tidak berbicara dan tidak bergerak, dadanya terbuka.
Kami mengira bahwa ini merupakan akhir kehidupannya, sedangkan sang ibu tetap dalam keadaannya, membaca Al-Qur’an. Seorang penyabar yang tidak mengeluh dan tidak mengaduh.
Demi Allah, ia tidak mengajak saya bicara dengan sepatah katapun dan tidak pula bertanya kepada saya tentang kondisi anaknya. Ia hanya berbicara setelah saya mulai mengajaknya bicara tentang anaknya tersebut.
Adapun usia suaminya sudah lebih dari empat puluh tahun. Terkadang suaminya menemui saya di dekat anaknya, ketika ia menoleh kepada saya untuk bertanya, istrinya menarik tangannya dan menenangkannya serta mengangkat spiritnya dan mengingatkannya bahwa sang Penyembuh adalah Allah.
Setelah berlalu dua bulan, keadaan anak tersebut sudah membaik, lalu kami memindahkannya ke ruangan khusus anak-anak di rumah sakit, kondisinya sudah mengalami banyak kemajuan.
Keluarganya pun mulai membiasakan kepadanya berbagai jenis terapi dan pelatihan. Setelah itu, anak tersebut pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki, ia melihat dan berbicara seakan-akan ia tidak pernah tertimpa sesuatu sebelumnya.
Maaf, kisah menakjubkan ini belum selesai, karena satu setengah tahun kemudian, ketika berada di ruang kerja saya, tiba-tiba suami wanita itu masuk menemui saya, sedangkan di belakangnya istrinya menyusulnya sambil menggendong bayi kecil yang sehat.
Ternyata si anak kecil itu sedang diperiksakan secara rutin di RS tersebut, mereka datang kepada saya untuk menyampaikan salam.
Saya bertanya kepada si suami, ‘Masya Allah, apakah bayi kecil ini adalah anak yang keenam atau ketujuh di dalam keluarga Anda?’ Ia menjawab, ‘Ini yang kedua, dan anak pertama kami adalah anak yang Anda obati setahun yang lalu. Ia merupakan anak pertama kami yang lahir setelah tujuh belas tahun kami menikah dan sembuh dari kemandulan.’
Saya menundukkan kepala, dan langsung teringat dengan gambaran ibunya ketika sedang menunggui anaknya. Saya tidak mendengar suara yang keluar darinya dan tidak melihat tanda kegelisahan pada dirinya.
Saya mengucap di dalam hati, ‘Subhanallah.’ Setelah tujuh belas tahun bersabar dan mencoba berbagai terapi kemandulan, lalu diberi rezeki dengan seorang anak laki-laki yang dilihatnya mati berkali-kali di hadapannya.
Akan tetapi, wanita tersebut hanya berpegang teguh pada kalimat ‘Laailaaha illallaah’ dan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat Penyembuh dan Pemberi kesehatan. Subhanallah! Betapa besar tawakkal dan keimanan yang dimiliki wanita itu.”
Kisah di atas, meski bukan kisah para ulama, namun merupakan kisah nyata yang terjadi pada zaman kita.
Dimana posisi kita dibandingkan ibu dalam kisah tersebut?
Ya Allah, berilah kami kemudahan untuk bersabar, tawakkal, dan benar-benar berserah diri kepada-Mu, dalam setiap waktu, setiap keadaan, dan setiap tempat. Amiin.
* bermasalah dalam pembuluh darah di liver,
* jantung berhenti berdetak selama 45 menit,
* pendarahan hebat yang membuat jantungnya berhenti berdetak untuk yang kedua kali
* pendarahan di liver, sembuh, pendarahan lagi berulang-ulang sampai 6 kali,
* tumor dan radang otak,
* radang ginjal,
* radang pada selaput kristal yang mengitari jantung,
penyakit tersebut hadir silih berganti, terus menerus dalam waktu 6-8 bulan…, Apa yang Anda lakukan?
Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi dalam bukunya ‘Jangan Takut Sakit’ (hal 111-117, penerbit Fawaid, -dengan sedikit penyesuaian) menuturkan sebuah kisah:
Dr. Abdullah bercerita,
“Ada seorang perempuan yang datang kepada saya dengan menyeret langkah-langkah kakinya, ia menggendong anaknya yang tersiksa oleh penyakit.
Ia adalah seorang ibu yang berusia mendekati empat puluh tahun. Ia memeluk anaknya yang masih kecil ke dadanya, seakan-akan anak tersebut adalah potongan tubuhnya. Kondisi anak itu memprihatinkan, terdengar satu dua tarikan nafas dari dadanya.
Saya bertanya kepada si ibu, ‘Berapa umurnya?’
Ia menjawab, ‘Dua setengah tahun.’
Kami melakukan pemeriksaan kepada anak itu, ternyata anak itu bermasalah dalam pembuluh-pembuluh darah di livernya.
Kami segera melakukan tindakan operasi kepadanya, dan dua hari setelah operasi, anak itu sudah sehat. Sang ibu pun tampak gembira dan riang.
Ketika melihat saya, ia bertanya, ‘Kapan anak saya boleh pulang dok?’
Tatkala saya hampir menulis surat keterangan pulang, tiba-tiba anak kecil itu mengalami pendarahan hebat di tenggorokannya, sehingga menyebabnya jantungnya berhenti berdetak selama 45 menit.
Kesadaran anak tersebut sudah hilang. Lalu para dokter berkumpul di dalam ruangannya. Beberapa jam telah berlalu, namun mereka tidak sanggup membuatnya tersadar.
Salah seorang teman saya segera mendatangi ibunya dan berkata kepadanya, ‘Kemungkinan anak Anda mengalami kematian otak (koma) dan saya mengira bahwa ia tidak memiliki harapan untuk hidup.’ Saya menoleh kepada teman saya tersebut sambil mencelanya karena ucapannya tersebut.
Lalu saya melihat kepada si ibu, demi Allah, perkataan teman saya itu tidak menambah selain ia mengucapkan, ‘Penyembuh adalah Allah, Pemberi kesehatan adalah Allah.’
Kemudian ia terus menerus membaca, ‘Saya memohon kepada Allah jika ada kebaikan pada kesembuhannya, maka sembuhkanlah ia.’
Setelah itu ia diam dan berjalan menuju sebuah kursi kecil, lalu duduk. Kemudian ia mengambil mushaf kecilnya yang berwarna hijau dan membacanya.
Para dokter pun keluar, saya juga keluar bersama mereka. Saya berjalan melewati anak itu, kondisinya belum berubah, sesosok tubuh yang terbujur kaku laksana mayat di atas tempat tidur putih. Lalu saya menoleh kepada ibunya, keadaannya juga masih tetap seperti sebelumnya.
Satu hari ia membacakan Al-Qur’an kepada anaknya; satu hari membacanya dan satu hari setelannya mendoakannya. Beberapa hari kemudian, salah seorang perawat perempuan memberitahu saya bahwa anak itu sudah mulai bergerak, saya langsung memuji Allah.
Saya berkata kepada si ibu, ‘Wahai Ummu Yasir, saya sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa keadaan Yasir mulai membaik.’
Ia hanya mengucapkan satu ucapan sambil menahan air matanya, ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah.’
Dua puluh empat jam kemudian kami dikejutkan dengan kondisi si anak, ia kembali mengalami pendarahan hebat seperti pendarahan sebelumnya, dan jantungnya berhenti berdetak untuk kedua kalinya.
Tubuhnya yang kecil kelihatan lelah, gerakannya telah hilang. Salah seorang dokter masuk untuk melihat kondisinya secara langsung, lalu saya mendengarnya berucap, ‘Mati otak.’
Sang ibu terus menerus mengulang-ulang, ‘Alhamdulillah, atas setiap keadaan, penyembuh adalah Allah.’ Beberapa hari kemudian, anak itu sembuh kembali. Namun, baru berlalu beberapa jam, ia kembali mengalami pendarahan di dalam livernya, lalu gerakannya berhenti.
Beberapa hari kemudian ia sadar lagi, lalu kembali mengalami pendarahan baru, kondisinya aneh, saya tidak pernah melihat kondisi seperti itu selama hidup saya, pendarahannya berulang-ulang hingga enam kali, sedangkan dari lisan ibunya hanya keluar ucapan, ‘Segala puji bagi Allah, Penyembuh adalah Rabb-ku, Dia-lah Penyembuh.’
Setelah beberapa kali pemeriksaan dan pengobatan, para dokter spesialis batang tenggorokan berhasil mengatasi pendarahan, Yasir mulai bergerak-gerak lagi. Tiba-tiba, Yasir kembali diuji dengan bisul besar (tumor) dan radang otak.
Saya sendiri yang memeriksa keadaannya. Saya berkata kepada ibunya, .’Keadaan anak Anda mengenaskan sekali dan kondisinya berbahaya.’ la tetap mengulang-ulang ucapannya, ‘Penyembuh adalah Allah’
la mulai membacakan Al-Qur’an kepada buah hatinya. Setelah dua minggu, tumor itu tetap ada. Dua hari kemudian, anak tersebut mulai sembuh, kami memuji Allah karenanya.
Sang ibu bersiap-siap untuk pulang, namun satu hari kemudian, tiba-tiba anak tersebut mengalami radang ginjal parah yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronis dan hampir menyebakan kematiannya.
Sementara si ibu tetap berpegang teguh, bertawakal dan berserah kepada Rabb-nya serta terus mengulang-ulang, ‘Penyembuh adalah Allah.’ Lalu, ia kembali ke tempatnya dan membacakan Al-Qur’an kepada anaknya.
Hari-hari berlalu, sedangkan kami terus berusaha memeriksa dan mengobati secara maraton hingga berlangsung sampai tiga bulan, kondisinya pun membaik, segala puji hanya bagi Allah.
Akan tetapi, kisah ini belum berhenti sampai di sini saja, si anak kembali diserang penyakit aneh yang belum pernah saya kenal selama hidup.
Setelah empat bulan, ia terserang radang pada selaput kristal yang mengitari jantung, sehingga memaksa kita untuk membuka sangkar dadanya dan membiarkannya terbuka untuk mengeluarkan nanah.
Ibunya hanya melihat kepadanya sambil berucap, ‘Saya memohon kepada Allah agar menyembuhkannya, Dia adalah penyembuh dan pemberi kesehatan.’ Lalu, ia kembali ke kursinya dan membuka mushafnya.
Terkadang saya melihat kepada ibu tersebut, sementara mushaf ada di depannya, ia tidak menoleh ke sekelilingnya. Kemudian saya masuk ke ruang refreshing, maka saya melihat banyak pasien dengan berbagai penyakit dan para penunggu mereka.
Saya melihat sebagian dari para pasien tersebut berteriak-teriak dan yang lainya mengaduh-aduh, sedangkan para penunggunya menangis, dan sebagian dari mereka berjalan di belakang para dokter.
Sementara ibu itu tetap berada di atas kursinya dan di depan mushafnya, tidak berpaling kepada orang yang berteriak dan tidak berdiri menghampiri dokter serta tidak berbicara dengan seorang pun.
Saya merasa bahwa ia adalah gunung, setelah berada selama enam bulan di ruang refreshing. Saya berjalan melewati anaknya, saya melihat matanya terpejam, tidak berbicara dan tidak bergerak, dadanya terbuka.
Kami mengira bahwa ini merupakan akhir kehidupannya, sedangkan sang ibu tetap dalam keadaannya, membaca Al-Qur’an. Seorang penyabar yang tidak mengeluh dan tidak mengaduh.
Demi Allah, ia tidak mengajak saya bicara dengan sepatah katapun dan tidak pula bertanya kepada saya tentang kondisi anaknya. Ia hanya berbicara setelah saya mulai mengajaknya bicara tentang anaknya tersebut.
Adapun usia suaminya sudah lebih dari empat puluh tahun. Terkadang suaminya menemui saya di dekat anaknya, ketika ia menoleh kepada saya untuk bertanya, istrinya menarik tangannya dan menenangkannya serta mengangkat spiritnya dan mengingatkannya bahwa sang Penyembuh adalah Allah.
Setelah berlalu dua bulan, keadaan anak tersebut sudah membaik, lalu kami memindahkannya ke ruangan khusus anak-anak di rumah sakit, kondisinya sudah mengalami banyak kemajuan.
Keluarganya pun mulai membiasakan kepadanya berbagai jenis terapi dan pelatihan. Setelah itu, anak tersebut pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki, ia melihat dan berbicara seakan-akan ia tidak pernah tertimpa sesuatu sebelumnya.
Maaf, kisah menakjubkan ini belum selesai, karena satu setengah tahun kemudian, ketika berada di ruang kerja saya, tiba-tiba suami wanita itu masuk menemui saya, sedangkan di belakangnya istrinya menyusulnya sambil menggendong bayi kecil yang sehat.
Ternyata si anak kecil itu sedang diperiksakan secara rutin di RS tersebut, mereka datang kepada saya untuk menyampaikan salam.
Saya bertanya kepada si suami, ‘Masya Allah, apakah bayi kecil ini adalah anak yang keenam atau ketujuh di dalam keluarga Anda?’ Ia menjawab, ‘Ini yang kedua, dan anak pertama kami adalah anak yang Anda obati setahun yang lalu. Ia merupakan anak pertama kami yang lahir setelah tujuh belas tahun kami menikah dan sembuh dari kemandulan.’
Saya menundukkan kepala, dan langsung teringat dengan gambaran ibunya ketika sedang menunggui anaknya. Saya tidak mendengar suara yang keluar darinya dan tidak melihat tanda kegelisahan pada dirinya.
Saya mengucap di dalam hati, ‘Subhanallah.’ Setelah tujuh belas tahun bersabar dan mencoba berbagai terapi kemandulan, lalu diberi rezeki dengan seorang anak laki-laki yang dilihatnya mati berkali-kali di hadapannya.
Akan tetapi, wanita tersebut hanya berpegang teguh pada kalimat ‘Laailaaha illallaah’ dan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat Penyembuh dan Pemberi kesehatan. Subhanallah! Betapa besar tawakkal dan keimanan yang dimiliki wanita itu.”
Kisah di atas, meski bukan kisah para ulama, namun merupakan kisah nyata yang terjadi pada zaman kita.
Dimana posisi kita dibandingkan ibu dalam kisah tersebut?
Ya Allah, berilah kami kemudahan untuk bersabar, tawakkal, dan benar-benar berserah diri kepada-Mu, dalam setiap waktu, setiap keadaan, dan setiap tempat. Amiin.
Label:
tulisan Dedi Diday Asmar
Langganan:
Postingan (Atom)